Lulus dengan status suma cumlaude
atau A+ tentunya membuat orangtuaku
sangat bangga kepadaku. Padahal
mereka sempat kuatir dulu aku bahkan
hampir putus sekolah di SMA. Ayahku
menawarkan posisi sebagai direktur di
salah satu perusahan miliknya, tapi aku
sudah punya rencana sendiri. Bahkan
sebelum ujian sarjana pun sebenarnya
saya secara diam-diam telah
mengirimkan lamaran kerja ke salah
satu perusahan multinasional terkenal
yang punya cabang di Jakarta. Itu
adalah wujud tekadku untuk benar-
benar bisa mandiri, terlepas dari
bantuan ayahku. Aku hanya ingin
membuktikan kepada orang-orang dan
kepada diriku sendiri bahwa aku bukan
anak yang hanya bisa berlindung di
bawah ketiak orangtua. Namun
tentunya harus diam-diam, sebab
apapun juga ayahku pasti tidak akan
pernah setuju. Benar juga, beliau
sempat marah ketika aku menerima
surat dari Jakarta bahwa aku bisa
diterima dan tinggal mengikuti
wawancara yang harus dilakukan di
sana. Namun di lain pihak, ibuku
sangat mendukungku, sebab beliau
adalah orang yang paling mengerti aku
di dunia ini. Singkat cerita, setelah lulus
wawancara dan diterima bekerja di
perusahan itu, aku langsung bisa
mendapatkan posisi yang sangat tinggi.
Ngak enaknya, kebanyakan orang di
kantor justru menjaga jarak dariku
sebab keseganan mereka terhadap
posisiku. Bahkan aku harus
membiasakan diri disapa "Bapak"
meski aku masih sangat muda. Risih
juga, tapi lama-lama jadi ngak aneh
lagi. Aku mengontrak sebuah rumah
yang cukup besar dan nyaman di
kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan.
Dari kantor aku mendapatkan sebuah
mobilsedan BMW baru berwarna perak
metalik. Sebenarnya aku juga
diberikan sopir pribadi, tapi aku lebih
suka nyetir sendiri. Setiap kali pulang
kantor, aku selalu lewat Jalan Thamrin.
Sore hari jalur ke alah Sudirman pasti
macet berat. Makanya aku suka
mampir di Plaza Indonesia menunggu
jalanan agak lengang sambil
menikmati teh hangat di sebuah cafe
yang terletak di basement. Suatu sore
seperti biasanya aku sedang
nongkrong di cafe itu, ku lihat ada
seorang pemuda yang tengah berdiri
mengamati sesuatu di etalase depan
sebuah toko kecil di dekat cafe.
Penampilannya casual tapi rapih. Ku
perhatikan tingginya sekitar 180cm dan
badannya tampak padat berisi di balik
t-shirt putihnya. Cukup lama ia
mengamati etalase itu, kemudian
membalikkan badan menghadap ke
arah cafe. Wajahnya memang sangat
tampan, seperti seorang coverboy.
Sejenak kemudian dia seperti tersadar
bahwa aku sedang memperhatikan
dirinya. Ku rapikan dasi yang masih
melilit di leherku. Demi mengusir
kekakuan saat pandangan mata kami
beradu, akupun tersenyum. Eh, dia
juga balas senyum. Mungkin karena
terlalu terpana, serta merta aku
memberi kode dengan tangan
mengundangnyake arahku. Ia
mendekat. Ku persilahkan dia duduk
tepat di depanku lalu aku memanggil
pelayan. Setelah memesan teh hangat
sama sepertiku, kami mulai bercakap
walau agak malu-malu. "Kenalkan,
saya Versus. Emm... boleh tahu
namanya, mas?", tanyaku. "Saya
Yono.", jawabnya singkat sambil
tersenyum. Dari dekat tampak
rambutnya yang agak ikal teratur rapi.
Perbincangan kami pun berlanjut,
mengupas tuntas sesi perkenalan.
Herannya aku mengatakan data diriku
yang sebenarnya, padahal aku
biasanya tidak mudah percaya orang
yang baru dikenal. Yono berasal dari
Blitar, Jawa Timur. Di Jakarta ia kuliah
di sebuah universitas yang berlokasi di
seputaran Senayan, dan kost di dekat
kampusnya. Dalam waktu singkat
kami telah jadi akrab. Bahkan pelayan
cafe pun mungkin mengira kami sudah
lama saling kenal. AKu ajak Yono main
ke rumahku, dan ternyata dia bersedia.
Tanpa membuang waktu lagi, kami
segera menuju ke mobilku di tempat
parkir. Meski masih agak macet tapi
aku tidak bosan dalam perjalanan
sebab kami berdua ngobrol terus
sampai tiba di Pondok Labu. "Yon, aku
mandi dulu ya.", ucapku sambil
meninggalkan Yono di ruang baca. Baru
saja aku on komputer dan
mempersilahkan Yono
menggunakannya. Di komputer itu ada
banyak gambar erotik pria yang
didownload dari Internet. Kayaknya
Yono suka melihatnya. Ngak apa-apa,
lagian di rumahku memang ngak ada
orang lain, sebab pembantuku
biasanya pulang ke rumahnya jam 5
sore. Meskipun ada kamar khusus
untuk pembantu, tapi ia tidak nginap
sebab rumahnya hanya berjarak 100
meter dari rumahku. Setelah selesai
mandi, aku mendekati Yono, hanya
berbalut handuk. Ku ambil kursi lalu
duduk tepat di sampingnya. Ia masih
asyik melihat gambar-gambar itu.
Namun beberapa saat kemudian Yono
memalingkan wajahnya ke arahku.
Mata kami saling menatap, tersenyum.
Aku agak kaget bercampur senang
ketika Yono memejamkan mata lalu
mendekatkan bibirnya ke bibirku.
Terjadilah adegan French kiss yang
sangat romantis. Beberapa saat
kemudian, kami pindah ke kamarku,
adegan pun berlanjut seru. Kami saling
mengisap kontoldengan posisi 69. Yono
benar-benar bisa memuaskan hasratku.
Permainan kami makin memuncak
sampai orgasme dalam waktu yang
hampir bersamaan. Setelah itu kami
sama-sama ke kamar mandi untuk
membersihkan diri. Malam itu Yono
tidur dalam rangkulanku. Bukan hanya
gairah seks yang mendekatkan kami,
tapi rasanya kami juga saling jatuh
cinta. Setelah peristiwa malam itu,
Yono pindah dari tempat kostnya ke
rumahku. Setiap pagi Yono ikut
mobilku sampai ke Jalan Sudirman,
sebab dia harus kuliah. Sore harinya
dia suka menungguku di sebuah
warung kopi di Plasa Blok M, sebab itu
adalah jalurku pulang rumah yang
paling dekat ke lokasi kampusnya.
Begitulah pada awalnya hubunganku
dengannya berlangsung baik dan
lancar. Yono benar-benar mencintaiku.
Bahkan dia sama sekali tidak matre
terhadapku. Jangan pikir dia mau
memperalatku secara finansial, ngak
pernah terjadi! Bahkan dia sering
menolak jika aku berniat memberi
uang. Kalaupun sangat terpaksa,
misalnya membeli buku penting untuk
kuliah di saat kiriman bulanan dari
orangtuanya belum tiba, dia bersedia
menerima uluran tanganku, tapi hanya
sebatas harga buku, dan uang
kembalian paling receh sekalipun tetap
saja dibalikin ke aku. Malah justru
sebaliknya, Yono sering membeli
sesuatu untuk makan malam kami
berdua dengan uangnya sendiri. Hal itu
membuatku semakin mencintainya.
Sayangnya rasa cinta Yono yang besar
itu tidak bisa dikontrolnya. Yono mulai
jadi posesif dan cemburuan. Bahkan
aku tidak berani dekat dengan teman
kantorku yang laki-laki. Jika aku pulang
agak telat, misalnya ada lemburan di
kantor, kami pasti ribut sebab Yono
menuduhku habis main dengan
pemuda lain. Lama kelamaan aku
merasa terkekang juga. Walaupun aku
tahu dia melarangku ini-itu karena rasa
cintanya yang besar, tapi keadaan
menjadi tidak menyenangkan bagiku.
Lebih buruk lagi, Yono sering banget
menelpon ke kantorku, hanya untuk
mencari tahu apakah aku ada atau
sedang berkeliaran. Alasannya sih ingin
tanya apakah aku sudah makan siang
misalnya, jadi seolah ingin
menunjukkan perhatian tapi
sebenarnya karena rasa cemburunya.
Gara-gara sikapnya itu maka akupun
kurang bergairah lagi jika berduaan
dengannya di ranjang. Hal itu semakin
membuatnya menjadi-jadi. Aku
dibilang kurang bergairah lagi sebab
sorenya sudah main dengan pria lain
sebelum pulang. Sebenarnya aku tipe
orang setia dalam cinta. Namun
diperlakukan begitu justru membuat
aku terkekang dan mencari-cari
kesempatan untuk bisa berhubungan
dengan orang lain. Keterikatan kami
semakin tidak sehat manakala ia mulai
mengancam aku bahwa ia akan
menceritakan kehidupan pribadiku
kepada teman-teman kantor jika aku
membuatnya sakit hati. Aku menyesal
pernah berkenalan dengannya. Aku
harus berpikir keras memutar otak
untuk mencari bagaimana caranya bisa
terbebas dari Yono. Pucuk dicinta ulam
tiba. Akhirnya ku temukan juga titik
kelemahan Yono. Suatu sore, seperti
biasa Yono telah menunggu mobilku di
dekat Plasa Blok M. Aku telah
melihatnya dari jauh, sepertinya dia
tampak sedang gelisah. Benar saja,
ketika naik ke mobilku, Yono
mengatakan bahwa kedua
orangtuanya akan tiba di Jakarta
keesokan paginya. Yono telah tinggal
serumah denganku, jadi mau tak mau
orangtuanya juga akan nginap
bersama kami. Aku kaget juga, sebab
selama ini Yono tidak pernah bercerita
tentang ayah dan ibunya. Aku setuju
menyediakan kamar utama di rumah
untuk orangtua Yono. Aku dan Yono
pindah ke 2 kamar yang berbeda. Yono
sepertinya pucat dan berusaha
menyimpan semua barang-barang
yang berbau gay di rumah, seperti
gambar hiasan dinding, poster, VCD,
majalah dan buku porno, serta foto
mesra kami berdua yang dipajang di
kamar. Yono memintaku bersandiwara
di depan orangtuanya, seolah-olah dia
kerja paruh waktu di kantorku
sehingga kami berdua tinggal serumah.
Nyata sekali bahwa Yono tidak ingin
orangtuanya tahu bahwa dia itu gay.
Pagi-pagi sekali Yono telah standby di
Stasiun KA Gambir. Aku tak bisa
menemaninya sebab aku harus ke
kantor. Ketika aku pulang kantor sore
harinya, Yono sedang duduk bersama
ayah dan ibunya di serambi depan
rumah. "Oh, ini yang namanya nak
Versus?", sapa ibunya dengan ramah
ketika aku tiba di serambi. "Benar",
jawabku sambil tersenyum, "pasti ini
ibunya Yono... dan ini ayahnya, kan?!"
Pandanganku beralih ke arah pria di
dekatnya yang rambutnya telah
beruban semua. "Bagaimana
perjalanan ke Jakarta?"
"Menyenangkan juga, walaupun
tadinya sempat kesal juga sebab
keretanya telat dari jadwal yang
semestinya. Si Yono sampe harus
nunggu agak lama di Gambir...", jelas
ayahnya. "Ah, sudahlah... yang penting
kita sudah tiba dengan selamat dan
bisa ketemu Yono kan?!", potong
ibunya. Percakapan kami pun
berlangsung semakin akrab. Rupanya
Yono sudah mengatur cerita bahwa dia
kuliah sambil kerja di kantorku.
Makanya kami tinggal serumah.
Dengan begitu, orangtuanya tak akan
curiga sama sekali. Bagus juga rencana
si Yono, pikirku. Namun itulah titik
kelemahannya, dia takut rahasia
dirinya diketahui orangtuanya! Tak
lama setelah orangtuanya kembali ke
Blitar, aku menyusun sebuah rencana.
Diam-diam aku ambil cuti di kantor,
lalu saat Yono sedang kuliah, aku
menulis sepucuk surat dan
kutinggalkan di atas kasur bersama
segepok uang. Tiket pesawat telah ku
pesan, aku siap berlibur cukup lama di
kota kelahiranku. Ketika Yono ke
rumah, dia membaca suratku: "Yono
sayang, aku tahu kamu mencintaiku,
demikian pula sebaliknya. Tapi
hubungan kita tidak bisa
dipertahankan, sebab kamu terlalu
mengekangku.
www.ceritagay.uiwap.comMungkin sebaiknya kita
pisah saja. Di kasur ada uang yang ku
tinggalkan untukmu, cukup banyak
untuk biaya kuliahmu sampai selesai.
Tapi ingat, jangan sekali-kali kamu
membongkar rahasiaku, terutama
kepada orang kantorku. Jika hal itu
kamu lakukan, aku sudah punya
alamat orangtuamu di Blitar, dan
dengan sangat terpaksa aku juga akan
berbuat hal yang sama supaya kita
impas. Pikirkan baik-baik resikonya.
Selamat tinggal, Yono!" Hampir 3
minggu kemudian aku kembali ke
Jakarta dengan perasaan was-was.
Aku cari kontrakan di tempat lain.
Waktu kembali masuk kantor,
perasaanku tak menentu. Aku hanya
menanti reaksi orang-orang. Ternyata
tidak terjadi apa-apa. Rupanya
gertakanku termakan juga oleh Yono.
Benar, dia memang takut rahasianya
diketahui orangtuanya. Aku lega, tapi
rasa kasihan juga. Aku memang
mencintainya, tapi aku tak tahan juga
diperlakukan begitu terus-terusan. Dan
semuanya ku lakukan hanya untuk
melindungi diriku saja. Itu spekulasi.
Jika Yono tidak peduli gertakanku,
mungkin aku tak bisa berbuat apa-apa,
sebab sebenarnya aku tak kan pernah
sanggup membongkar rahasianya
kepada orangtuanya. Aku tidak setega
itu. Di akhir bulan, pemilik kontrakan
lama di Pondok Labu menelpon ke
kantorku. Katanya Yono meninggalkan
kunci rumah kepadanya. Berhubung
aku sudah punya kontrakan baru, aku
ke Pondok Labu untuk mengambil sisa
barang-barangku di sana dan secara
resmi memulangkan semua kunci
rumah kepada pemiliknya. Betapa
terkejutnya ketika aku masuk ke
kamar, uangku masih berada di situ.
Yono tidak mengambilnya, malah ada
sepucuk surat tulisan tangannya:
"Versus tercinta. Maaf, aku tak bisa
menerima uangmu. Aku sangat
mencintaimu, tapi aku sadar sikapku
selama ini telah berlebihan. Aku bisa
mengerti keputusanmu. Mulai sekarang
kamu bebas. Aku mohon maaf atas
semua yang terjadi. Kini aku akan
menyendiri untuk introspeksi. Selamat
tinggal Versus, di hatiku tetap akan terukir namamu!"
SELESAI